Jumat, 05 April 2013

Video Dokumenter "KKNM KERTAYASA 2011", Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis


Postingan baru nih.
Sebenarnya ini ditujukan untuk para mahasiswa-mahasiswi yang akan melakukan kegiatan KKNM. Apalagi jika mahasiswa itu melakukan kegiatan KKNM ini di Desa Kertayasa. Desa Kertayasa merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Cijulang, Kabupaten Ciamis. Desa Kertayasa berjarak 4 km dari ibu kota kecamatan, 135 km dari ibu Kabupaten/Kota Ciamis dan 272 km dari Bandung dengan waktu tempuh ± 6 jam. Luas wilayah Desa Kertayasa yaitu 1.355,610 Ha. Adapun batas-batas wilayah Desa Kertayasa yaitu sebagai berikut sebelah timur berbatasan dengan Desa Cijulang, sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibanten, sebelah utara berbatasan dengan Desa Margacinta, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Batukaras.

Nah pas banget nih buat kalian yang mau KKN disana, bisa lihat film dokumenter ini  untuk merasakan bagaimana suasana di Desa Kertayasa, sebelum kalian tinggal 1 bulan disana nanti.

Part 1
(Perjalanan awal dari Kampus sampai Desa Kertayasa, dan sedikit kegilaan di hari pertama)
Part 2
(Mengunjungi aparat Desa Kertayasa, Pesta Duren, Main Kasti, Renang di sistem pengairan Desa Kertayasa)
Part 3
(Renang di Sungai "Ramo" Desa Kertayasa, Pangandaran, Pesta Seafood)
Part 4
(Program yang dibuat oleh tim KKNM Kertayasa, Batu Karas, Ngaliwet, Pesta seafood chapter 2)
Part 5
(Kegiatan "sampingan" di Desa Kertayasa)
Part 6
(Kegiatan menyusuri hulu sungai Green Canyon  "Guha Bau", Body Rafting)
Part 7
(Main di Pangandaran)
Part 8
(Slide Show Photo)
Part 9
(Rangkuman Tim KKNM Kertayasa)
Part 10
("Lagu Mars Kertayasa" perwakilan Tim KKNM Desa Kertayasa feat Anak-anak sekitar Desa Kertayasa)

Selasa, 26 Maret 2013

Jelajah Jawa Timur Part 2 (Malang-Bromo-Pasuruan-Sidoarjo-Surabaya)



Oke sambung lagi yah, Sesampainya kami di stasiun Kota Malang dari terminal Gadang tadi, kami langsung dijemput Nindi . Sebelum kami di antar ke rumahnya, kami menyempatkan diri untuk mencoba makan di Rumah Makan Soto Lamongan, recommended pisan lah buat kalian yang perut lapar tapi kantong kering. Porsi banyak, pake ati ampela, enak, dan yang pasti murah. Rp 10.000 looh. Kenapa saya bisa bilang murah soalnya kalau di Kota-kota besar seperti Bandung atau Jakarta melihat porsi sebanyak ini pasti dihargain Rp 20.000-25.000. Setelah puas makan, Nindi langsung mengantar kami ke rumahnya untuk sekedar beristirahat sambil menunggu jam keberangkatan ke Bromo yang kami rencanakan berangkat jam 09.00 malam nanti. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu dari Nindi yang sudah mau menampung gembel kaya kami untuk sementara. Maaf ya tante rumahnya jadi kotor kena bekas lumpur. Tapi itu bukan sembarang lumpur loh tante, itu lumpur dari Sempu tante, ada nilai sejarahnya. Hehe (padahal lumpur mah lumpur wee).

 Kami rencananya pergi ke Bromo dengan menggunakan mobil sewaan Toyota Avanza putih keluaran tahun 2010-an, yang sangat pas untuk kami tancap menanjak ke kawasan wisata Gunung Bromo nanti. Sekedar informasi nih Gunung Bromo berasal dari bahasa sanskerta : Brahma, salah seorang Dewa Hindu. Gunung ini merupakan gunung berapi yang masih aktif dan objek wisata paling terkenal di Jawa Timur.  Gunung setinggi 2.392 meter dari permukaan air laut ini berada di 4 wilayah, yaitu Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Pasuruan, dan Malang. Cukup yah belajar geografinya, takut pada mabok.

Oke untuk perjalanan menuju Bromo ini kami bertambah anggota yaitu namanya Ica, dia adalah seorang mahasiswi asal Bandung yang sedang berlibur juga di Malang, dia adalah teman dekatnya Nindi. Dengan bertambahnya Ica jumlah kami jadi ber-5 sekarang. Oke sudah siap semuanya!! Berangkat kita!!

Jalanan Kota Malang yang sudah mulai agak sepi pun kami lalui dengan liar, kecepatan sudah makin tak terkendali sampai akhirnya kami pun bingung jalan. Untung banyak “nabi” (baca: penunjuk jalan) dijalanan. Setelah agak kebingungan di daerah Tosari kami pun mendapat arahan agar kami menuju daerah Probolinggo karena jalan ke bromo melalui Tosari-Wonokitri sedang ditutup karena masyarakat sekitar situ sedang merayakan Hari Raya Nyepi. Saya pun langsung set GPS di hp menuju arah Probolinggo. Tapi bukan Omen namanya kalau ga bikin kerusuhan. Di tengah-tengah jalan menuju Probolinggo si Omen dengan mantap membelokan arah mobil. Padahal GPS saya memberi tahu kalau belokannya itu masih jauh. Tapi Omen bilang “bener da lewat sini, dulu juga urang lewat sini”.  Saya mulai ragu, tetapi keraguan saya itu selalu dijawab Omen dengan mantap layaknya salesman penjual obat kutu air mujarab buatan Arab. Yowis saya manggut-manggut aja.

Setelah beberapa jam, kondisi mulai gelap, tanda-tanda rumah sedang merayakan nyepi pun kami lihat di kanan-kiri jalan. Kami mulai semakin ragu. Jam menunjukan pukul 02.30, dan jeng jeng jeng jeeeeeeng…. Kami tiba di Wonokitri. Oh Shit omen! Ternyata jalan yang Omen yakini benar ini membawa kita kembali ke daerah Wonokitri yang sedang di tutup jalannya karena sedang merayakan Nyepi. Ya akhirnya kami pun harus menunggu sampai jam 4. Mun lain baturan geus ku urang teunggeulan nepi modar maneh men!! (arti: kalau bukan temen, kamu udah di pukulin sampai mati).

Sambil menunggu waktu, kami pun mencoba bernegosiasi harga jeep yang akan mengantar kami ke kawasan Gunung Bromo nanti. Ternyata agak susah juga untuk nego harga di musim liburan kaya gini. Alhasil kami mendapatkan harga Rp 600.000 yang nantinya jeep ini akan mengantar kami ke 4 kawasan yang ada di Gunung Bromo ini, yaitu Pananjakan, Savana, Pasir berbisik, Gunung Batok - Kawah Bromo. Jam sudah menunjukan jam 04.15 tapi gerbang belum juga dibuka, akhirnya setelah saya nego akhirnya gerbang berhasil dibuka. Mohon maaf bukannya kami tidak menghormati perayaan hari nyepi. Tapi memang menurut kabar dari beberapa pedagang disini biasanya perayaan nyepi berakhir jam 03.30, dan jam 04.00 biasanya gerbang sudah dibuka. Makanya saya berani nego buat dibukain gerbang. Alhamdulillah berhasil. 

Setelah mendapat jatah jeep. Kami pun langsung berangkat ke Pananjakan yang dimana Pananjakan ini adalah tempat yang biasanya dikunjungi untuk melihat sunrise di Gunung Bromo. Sesampainya di Pananjakan kami langsung mencari spot yang paling pas. Setelah menunggu beberapa saat dalam keadaan gelap. Akhirnyaaaaaa… Wueedaaaann… kami langsung terkesima dengan pemandangan yang disuguhkan dihadapan kami. Matahari yang sedikit demi sedikit naik ke singgasananya untuk merajai harinya, kini sudah hadir dihadapan kami. Benar-benar suatu komposisi yang sangat indah untuk diabadikan. 

Dari Pananjakan ini bisa kita lihat kawasan kaki Gunung Bromo yang terhampar luas dihadapan kami bagai tak bertepi. Hamparan tersebut menjadi landasan yang sangat kokoh bagi beberapa gunung disekitarnya, seperti misalnya Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Setelah jam menunjukan pukul 08.00 kami pun beristirahat sejenak untuk sekedar menikmati teh hangat di dinginnya Gunung bromo ini. Buat kalian yang ingin kesini persiapkan jaket yang sedikit lebih tebal dari biasanya, karena Gunung Bromo ini tingginya sudah mencapai 2.392 Mdpl kebayang lah sendiri dinginnya gimana.

Komposisi warna yang sangat indah
Pagi hari di kawasan Gunung Bromo
Menikmati Pagi di Bromo
"Pananjakan" Gunung Bromo
Nampaknya Jeep yang kita tumpangi, sudah menunggu dan tidak sabar untuk mengantar kita ke tempat lain yang ada di kompleks wisata gunung Bromo ini. Oh iya kenalkan supir yang akan menemani kita selama kita di sini, namanya adalah Pak Subri. Beliau sangat ramah sekali dan beliau juga sangat sabar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan seputar Gunung Bromo. Sabar ya pak, kita emang gini orangnya udah cerewet, banyak nanya tapi keren. Hehe.

Jeep Bromo
Bersama Pak Subri
Setelah melewati jalan yang berkelok-kelok dan menurun terjal sampailah kita di wilayah kaki Gunung Bromo. Wiih Padang ilalang menyambut kedatangan kami, mereka bergerak seirama mengikuti arah angin bertiup, seandainya saja saya punya rumah yang halamannya seperti ini saya pasti adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Amiinn.. Sudah pasti di tempat ini kami menyempatkan diri untuk mengambil beberapa foto, lumayan lah buat stock avatar twitter. Hehe.

ilalang - ilalang
Tidak terlalu lama kami menghabiskan waktu disini, karena kami ingin segera menuju savanna yang dimana savanna ini terkenal dengan “bukit telletubbies” nya. Kenapa? Karena memang disini ada beberapa bukit kecil yang sangat hijau menyerupai bukit-bukit yang ada di film serial anak telletubbies. Subhanallah.. Pemandangan dan udara disini segeer benerr.. Buat kalian yang punya penyakit paru-paru kayanya sembuh deh kalau kesini. Soalnya benar-benar melegakan paru-paru banget udara disini. Wajib coba!

"Savanna" Gunung Bromo

"Kuda di Savanna"
karya Lukman a.k.a "Omen"
Mata sama paru-paru udah fresh sekarang saatnya menuju wilayah yang agak ekstrim, kita menuju kawasan pasir berbisik. Ya dikawasan ini mirip kawasan gurun. Angin kencang dan berdebu. Tapi ada satu hal yang bisa kalian lakuin disini dan ga bisa dilakuin di tempat lain. Kalian disini bisa lari-lari sambil teriak kaya orang gila sepuasnya atau bisa tulis-tulis nama di pasir selebar dan seluas yang kalian mau (kalau ga cape itu juga). Aaah ajiib pokonya..

Iqbal di Pasir Berbisik
Setelah puas lari-lari sambil teriak-teriak sendiri dan disangka orang gila, kini Pak Subri mengajak kita ke tempat terakhir dari perjalanan ini. Ini dia saudara-saudara.. Gunung Batok-Kawah Gunung Bromo untuk mencapai kawah Gunung Bromo ini kita bisa saja berjalan kaki kalau kuat, tapi bagi orang-orang yang kondisi fisiknya lagi lemah, apalagi kami yang kemarin baru saja pulang camp di segara anakan tentu lebih memilih untuk naik kuda *alasan. Tarif penyewaan kuda disini masih cukup terjangkau yaitu sebesar Rp 80.000 untuk pulang pergi dari lautan pasir ke kaki puncak kawah Gunung Bromo. Tapi harga tersebut segera terbayar dengan pengalaman yang luar biasa yang kami rasakan. Coba bayangkan, kita naik kuda yang berlari di lautan pasir yang begitu luas, rasanya tuh kaya di film-film kaya Troy, atau Lord of The Ring. Pengalaman yang satu ini juga wajib kalian coba!

Kukudaan di Lautan Pasir
Setelah sampai kaki puncak disinilah perjuangan dimulai, kita disini melanjutkan dengan berjalan kaki menaiki tangga –tangga kecil menuju mulut kawah nya. Ada sekitar 200 anak tangga dan dengan sudut kemiringan kurang lebih 50º (meureun itu juga), yang harus kita taklukan untuk mencapai puncak.  Konon katanya kalau kita naik tangga itu terus menurus tanpa berhenti sampai ke puncak, konon itu bakal menjadikan kita orang yang keren. Cobain aja geura kalian naik tanpa berhenti, pasti temen-temen kalian ntar pas udah di atas puncak bilang “njis keren maneh! kuatan euy!”, Maka mitos itu pun langsung terbukti saat itu juga.

Beungeut si Omen waktu naik tangga Puncak Bromo
Sesampainya di bibir kawah, kembali tubuh ini merasakan perasaan yang membuat kita sadar bahwa kita sebagai manusia itu sangatlah kecil dihadapan-Nya. Rasa syukur tak terkira pun menyeruak menyesakkan dada, bahwa aku sangat beruntung lahir di Negeri ini. Negeri yang sangat indah ini, dan aku beruntung bisa terlahir untuk menyaksikan karya Tuhan yang begitu indah ini. Buat kalian yang selama ini punya temen yang sangat angkuh atau sombong. Kayanya cocok nih dibawa kesini, agar dia segera sadar bahwa dia tuh ga ada apa-apanya di dunia ini. Nah kalau dia udah sadar, geura suntrungkeun ka kawah! Heureuy deng.. (segera dorong ke kawah! becanda..).

Kawah Bromo

Di Pinggir Kawah
Hari semakin siang dan kami pun semakin terlena dengan keindahan Gunung Bromo ini tapi kami sadar kami harus pulang. Dengan berat hati kami pun harus meninggalkan Bromo. Terima kasih Bromo atas suguhan yang menakjubkan ini. Kalau ada rezeki dan waktu yang Tuhan berikan untuk mengunjungimu lagi, saya pasti akan mengunjungimu lagi dan lagi..

Pukul 12.00 kami pun mulai turun dari kawasan wisata Gunung Bromo, dan tujuan kami yang pertama adalah mencari tempat makan. Akhirnya setelah masuk di daerah Pasuruan ada Rumah Makan yang sangat eye catching, dengan plang nama bertuliskan “Mbok Bat” kami langsung jatuh hati memilih Rumah Makan ini. Benar saja ayam penyet, dan tempe penyet buatan "Mbok Bat" nampaknya sudah menanti untuk masuk ke perut kami. Pedas, Gurih, dan Luar biasa rasanya.  Udah gitu di tutup sama es jeruk yang segaaar. Eleuh-eleuh. Saya tau pasti air liur kalian mulai memenuhi mulut kalian saat membaca tulisan ini. Ada yang unik untuk Es jeruk di Jawa Timur ini. Di sini es jeruk itu isinya bukan seperti jeruk-jeruk biasa, tapi pake jeruk nipis. Mungkin ada perbedaan dalam mengartikan es jeruk di sini dengan di Jawa Barat tempat saya tinggal.

Setelah selesai makan kami pun mulai mendiskusikan akan kemana kami sekarang, karena kami bertiga kini belum punya tempat singah untuk tidur sementara. Akhirnya pilihan jatuh ke rumah saudaranya Ikbal di Surabaya. Saya sih seneng aja, berarti jalan-jalan lagi. Lagipula Nindi dan Ica pun setuju untuk mengantar kami ke Surabaya. Di perjalanan menuju Surabaya kami melewati Sidoarjo yang terkenal dengan daerah korban lumpur Lapindo. Memang kami hanya lewat, tapi nuansa kesedihan begitu kental terasa disini. Banyak sekali poster-poster yang menyuarakan suara-suara para korban lumpur Lapindo ini, Ataupun cacian yang berbau sarkasme kepada pemerintah lewat poster itu. Dan dapat saya rasakan sendiri juga kesedihan dan kesengsaraan para korban lumpur ini, padahal saya tidak melihat langsung tempat itu, kami hanya lewat saja di depan tanggul tanggul penahan lumpur. Tapi rasa kesedihan itu begitu terasa disini. Waktu itu saya hanya bisa berdoa semoga Tuhan segera mengabulkan doa-doa tulus para korban. Sesampainya di Surabaya kami turun dan berpamitan dengan Nindi dan Ica. Terima kasih banyak untuk Nindi dan Ica yang sudah ikut berpartisipasi dalam perjalanan kami kali ini, dan juga terima kasih banyak juga kami ucapkan sudah mau mengantar kami sampai Surabaya. Kalian memang keren!

Di Surabaya kami pun kembali dikagetkan dengan hiruk pikuknya Kota Besar. Maklum baru turun gunung bro. kami pun sempat kebingungan mencari alamat rumah saudaranya Ikbal. Kami pun sempat terlantar di halte bis terkatung-katung menunggu jemputan dari saudaranya Ikbal. Setelah menunggu hampiir 2 jam, Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan motornya yang ia tumpangi datang menghampiri kami. “Ikbal” sapanya tegas, “iya..” jawab Ikbal lemas. Kami pun langsung berkenalan satu sama lain. Ternyata beliau adalah supir pribadi saudaranya Ikbal. Mas Irman namanya Ia pun baru sadar ternyata Ikbal tak sendiri, dan dia baru sadar juga dia hanya bawa motor untuk menjemput kami. Terpaksa saya dan Omen harus naik becak mengikuti motornya  dari belakang. Kebayang ga becak sekecil itu dinaiki dua pria bertubuh gempal, yang masing masing membawa carrier super berat. Yang sabar ya mang becak. Yang ikhlas, pasti Tuhan akan menolong, banyak berdoa aja. Dan sesekali adegan yang sering terjadi di film komedi Dono Kasino Indro pun hampir kami alami, untung sang pilot sangat cakap mengendarai pesawat kecil ini. Huh selamet selamet.

Beberapa saat kemudian sampailah kami di rumah saudaranya Ikbal. Kami pun langsung disambut baik oleh saudaranya Ikbal ini. Pak Deki namanya, beliau adalah seorang polisi, beliau orang yang sangatbaik dan dengan ramahnya menerima kami di rumahnya. Kami diberi tempat super mewah disini. Makan enak, kasur empuk, selimut tebal, TV flat, dan AC yang adeeem. Akhirnya setelah beberapa hari kebelakang tidur ga layak, di akhir-akhir perjalanan ini kami disuguhi kenyamanan tiada tara. Hanya semalam kami tidur disini, padahal hati mah betah banget disini.hehe. Di pagi hari Pak Deki mengajak kami berkeliling Surabaya, mengunjungi kantornya, lalu mengantar kami menuju Stasiun untuk membeli tiket pulang. Nah disini nih kenikmatan yang satu lagi, kami dibeliin tiket kereta Turangga oleh Pak Deki. Kalian tau kan Turangga? Kereta mahal brur. Ekskutif punya nih. Aduuuh terima kasih banyak Pak Deki, beliau adalah malaikat dari Surabaya. Entah bagaimana kami harus mengucapkan terima kasih. Sekali lagi terima kasih banyak yah Pak Deki. Semoga semua kebaikan Pak Deki akan dibalas 2 kali lipat oleh Tuhan. Amiiiin.
Pemberian Pak Deki, Terima Kasih banyak pak
Setelah berpamitan dengan Pak Deki kami pun siap untuk pulang. Sambil menunggu kereta datang kami pun dihibur oleh sekelompok bapak-bapak tua yang bermain musik di stasiun ini. Jelas sangat menghibur, apalagi saat mereka memainkan lagu klasik Teluk Bayur. Aduuuh benar-benar pas lagunya. Kerumunan orang yang ada pada saat itu pun ikut bernyanyi.. “..nantikanlah aku di teluk bayur…”, sesekali saya pun ikut bernyanyi.

Musisi Stasiun Gubeng Surabaya
Tak lama kemudian kereta tiba, kami pun segera masuk gerbong kereta, dan tentu saja kenyamanan lah yang kami temukan di kereta ini. Tempat duduk yang luas, selimut hangat, dan bantal yang nyaman sudah tersedia di hadapan kami. Dan kenyamanan inilah yang akan menemani kami menempuh perjalanan 11 jam menuju Kota Bandung.
Selamat tinggal Jawa Timur…
Suatu saat nanti akan kami jelajahi lagi keindahanmu..








Senin, 25 Maret 2013

Jelajah Jawa Timur Part 1 (Kediri-Malang-Pulau Sempu-Segara Anakan)



Apa kabar semuanya? tak terasa waktu berlalu dan isi blog ini ga nambah nambah. Hehe. Tapi sekarang keinginan buat nulis muncul lagi setelah trip kecil-kecilan yang saya beri nama “Jelajah Jawa Timur”. Setelah sibuk dengan dunia kuliah dan mencoba membuka lapangan kerja baru dengan membuka usaha konveksi, rasanya kurang afdol kalau tidak mengistirahatkan otak ini sejenak untuk liburan. Yaap liburan di Jawa Timur lah yang jadi pilihan kali ini. Saya, Lukman "Omen" , Iqbal, Yudha, dan Mang Encim sepakat untuk berangkat ke Pulau Sempu dan Gunung Bromo. 

Kita pun mulai merencanakan perjalanan ini. Dalam proses perencanaan ini banyak sekali mengalami perdebatan dan halangan. Contohnya saja susah dapet tiket lah, cuaca yg Indonesia yang sedang kurang bersahabat lah, dan apalagi di salah satu situs ada yang memuat artikel tentang akan ada badai besar di hampir seluruh penjuru Indonesia. Selain itu banyak sekali orang-orang terdekat yang melarang untuk pergi karena khawatir cuaca akan semakin memburuk, termasuk saya sendiri yang sering mendapat firasat buruk setiap hari. (bahkan saya sampai nulis surat wasiat buat orang-orang terdekat saking parno nya). Tapi nasi sudah menjadi bubur, karena  sudah membeli tiket kereta, yowis berangkat aja. Tapi sayang beberapa hari sebelum hari keberangkatan Mang Encim dan Yudha memberi kabar bahwa mereka tidak bisa ikut kali ini. Dengan sangat terpaksa kami hanya berangkat dengan beranggotakan 3 orang yaitu saya, Omen, Iqbal.

Hari sabtu tanggal 19 Maret 2013 pun menjadi tanggal yang sangat dinanti-nanti, jam 8 malam nanti saya dan kedua teman saya akan memulai perjalanan edan teuing ini. Oke karena berangkatnya nanti malem, saya pikir kalau pagi harinya mungkin saya bisa pergi dulu ke  acara pernikahan sodara nya pacar saya (red:suci) di Sukabumi.  Alah sikat aja john!!. Alhasil saya hampir ketinggalan kereta. Konyol. Tapi untungnya kereta agak ngaret. Jadi saya ga perlu ngejar-ngejar kereta kaya di film-film, lebay!

Malam itu di stasiun padalarang, saya yang masih terengah-engah berlari  dengan tas besar yang saya bawa, akhirnya saya bertemu dengan 2 orang laki-laki yang terpaksa selama 4 tahun kebelakang ini saya sebut teman. Haha. Heureuy deng.  Sebenarnya mereka sudah cukup khawatir menunggu saya yang tak kunjung datang, terlihat dari muka mereka yang mulai pucat basi (basi mah dahareun meureuun). “Sori lads urang telat!” (arti: maaf saya telat), sapa saya sambil ngas nges ngos cape lari. Mereka membalas “mmm” dengan muka pucatnya masing-masing.

Kami berangkat menggunakan kereta Kahuripan  AC Ekonomi menuju Kediri dengan tiket seharga Rp 100.000 . Sial sih sbnernya, soalnya ada yang harga Rp 40.000 , tapi karena sudah abis yasudah gakpapa yang penting bisa berangkat dulu aja. Kereta kini mulai bergerak perlahan meninggalkan Kota Bandung, meninggalkan hiruk pikuknya Kota dalam temaram lampu Kota yang mulai rusak dimakan usia. Sejenak  saya terdiam, karena kini mulai terasa bahwa saya sedang perjalanan meninggalkan temapat saya tinggal ke tempat antah berantah yang belum pernah sama sekali saya kunjungi. Dengan khidmat ku awali perjalanan ini dengan penuh doa dan harapan semoga semua akan baik-baik saja.

Di dalam kereta malam itu sangatlah ramai hampir semua kursi terisi penuh, ya memang hari keberangkatan kami bertepatan dengan liburan panjang. Terlihat ada seorang bapak-bapak tua yang berbadan agak sedikit tinggi dan dan garis mukanya terlihat sangat lelah. Hampir dapat dipastikan bapak itu adalah seorang perantauan yang sedang mengadu nasib di Kota Bandung  dan sekarang sedang mengambil jatah liburannya untuk sekedar menengok keluarganya di kampung halamannya. Matanya kini kosong menatap ke arah jendela kereta yang mulai berembun, mungkin kini didalam bayangannya dia sudah membayangkan anak istrinya yang sudah lama ia tinggalkan, dapat kubayangkan betapa syahdunya detik-detik pertemuan beliau dengan keluarganya nanti. Sekejap ia terhenyak dan menatap lurus ke arahku penuh arti, langsung kubalas dengan senyuman sekedar melepas rasa canggung.

Beberapa jam pun berlalu kami bertiga masih terdiam menikmati perjalanan malam ini sampai ada suara berat tapi tegas terdengar menyapa kami bertiga. Ternyata bapak yang duduk didepan kami lah yang menyapa kami “mau kemana de?” tanya sang bapak .  “Ke Sempu terus lanjut ke Bromo pak”, jawab kami mantap. Kami pun langsung akrab berbincang-bincang seputar hiruk pikuknya kehidupan di era liberalism ini. Ada yang menarik dari bapak yang satu ini, tak kami sangka beliau ternyata sering naik turun gunung di masa mudanya. Wiiih obrolan kami pun semakin memanjang, begitu pula dengan istrinya yang duduk di sampingnya dengan penuh ketulusan menawarkan makanan dan minuman kepada kami. Sikat bray lapar yeeuh!! Haha tanpa malu-malu kami lahap makanan yang tadi ditawarkannya. Waktu pun semakin malam tak terasa kami terlelap dalam ayunan suara kereta yang bekerja keras membawa kami sampai ke tujuan menembus dinginnya malam.

Pagi harinya hari minggu tanggal 10 maret 2013 sekitar pukul 05.00 kami bertiga terbangun. Disini nih bagian yang paling saya suka. Pemandangan sangat indah tersaji di depan kami saat kereta melewati hamparan sawah dan pepohonan di kanan kirinya sembari diterangi matahari yang sedikit demi sedikit naik ke singgasananya. Di kejauhan terlihat para petani yang sedang membawa cangkul di pundaknya, yang dengan semangat berangkat ke ladang, dan juga anak anak sekolah yang berjalan sembari sedikit-sedikit melompat kecil untuk menghindari lumpur yang setiap saat siap mengotori sepatu dan seragam mereka. Wiiih bener-bener suatu landscape yang disajikan oleh tuhan dengan mantaap. Beneran deh kesempatan yang kaya gini nih yang ga bisa dibeli sama uang. Kalian harus coba kawan, dan rasakan sendiri sensasinya.

-Suasana pagi hari di kereta-
 Photo by Lukman "Omen"
Pukul 06.00 kereta berhenti di stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Disini kereta berhenti cukup lama, kami pun tidak menyiakan kesempatan ini untuk mengambil beberapa video, foto dan menghirup udara khas kota Yogyakarta. Lumayan lah sedikit walaupun cuman lewat doang.  Beberapa menit kemudian kereta pun melanjutkan perjuangannya menuju Kediri, kami pun kembali duduk. Oh iya dari stasiun Lempuyangan ini banyak sekali penumpang yang turun. Aaah lega akhirnya tempat duduk yang daritadi malam sangat sempit bisa sedikit lebih longgar.
-Stasiun Lempuyangan Yogyakarta-
 Photo by Lukman "Omen"

Minggu 10 Maret 2013 jam menunjukan pukul 12.15 siang, akhirnya setelah menempuh perjalanan yang kurang lebih memakan waktu hampir 16 jam Plat nomor kendaraan “AG” mulai terlihat, itu tandanya kita sudah sampai di Kota Kediri. Kondisi cuaca yang panas membuat kami ingin sekali beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menuju Malang. Kami pun memilih beristirahat di Masjid di sekitaran stasiun Kediri ini. Ini dia nih tips buat kalian yang turun di stasiun Kediri, bisa nih kalian cari Masjid Al-Fattah namanya. Ya lumayan lah kita disini bisa ikut solat sekalian membersihkan badan yang dari pagi tadi di kereta belum mandi, daripada bau nanti (pengalaman pribadi). Hehe. 

Stasiun Kediri
 Photo by Lukman "Omen"

Setelah sholat dan membersihkan badan kami memutuskan untuk menjajal kuliner di Kediri sebelum berangkat ke Malang. Iqbal dan Omen memutuskan menjajal rujak cingur Kediri, sedangkan saya Es Campur Kediri. Saat kami sedang mencicipi rujak cingur dan es campur dengan liar, eh tak disangka tak dinyana kami bertemu seorang Bapak yang penampilannya rapih, namun sangat ramah. Tak disangka beliau adalah pegawai Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Kediri, beliau bernama Pak Rudi. Kami pun langsung berbincang bincang mengenai wisata di daerah Kediri. Dan sangat beruntungnya kami ketika beliau menawarkan diri untuk mengantarkan kami untuk melihat-lihat Kota Kediri sekaligus mengantarkan kami ke tempat naik bis menuju Malang. Aah senangnya.. 

Kami diajak Pak Rudi menuju Monumen Simpang Lima Gumul. Monumen Simpang Lima Gumul adalah sebuah landmark baru dari Kabupaten Kediri. Monumen ini terletak Desa Tugurejo, Kecamatan, Gampengrejo, Kabupaten, Kediri, Jawa Timur. Jika dilihat monument ini mirip dengan bangunan yang bernama Arc de triomphe de l’Étoile atau biasa dikenal sebagai Arc de Triomphe di Negara Perancis, tepatnya di Kota Paris. Benar-benar indah serasa sedang di Eropa beneran siah pas kesini. Keren anjiis!! Terima kasih banyak Pak Rudi atas tumpangannya. 

Monumen Simpang Lima Gumul
 Photo by Lukman "Omen"
Monumen ini mirip bangunan Arc de Triomphe di Paris
Bersama Pak Rudi
Sudah hampir setengah jam kami menunggu bis jurusan Malang, tapi bis ini tak kunjung datang juga. Sial ternyata kami menunggu di tempat yang salah. Garila!! Buat sekedar informasi aja nih yah buat kalian yang ingin naik bis dari Kediri ke Malang, kalian bisa naik Bis Puspa Indah dengan harga Rp 17.000 aja murah ko, padahal jauh beut eta jarakna. 

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya bis Puspa Indah menunjukan dirinya, kami pun langsung naik dengan cepat, karena kami tak sabar untuk segera datang ke Kota Malang. Di kota Malang kami turun di terminal Landung sari. Disini kami telah mengatur janji untuk bertemu dengan salah satu teman kita di Malang bernama Nindi, dia adalah temannya Omen di Bandung semasa SMA dulu, dan kini Nindi sedang berkuliah di Universitas Brawijaya Malang. Dia bersedia membantu kami untuk mendapatkan penginapan yang murah di Kota Malang. Akhirnya dengan bantuan Nindi kami menemukan penginapan yang lumayan cukup murah, tepatnya di sekitaran Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang dengan tarif Rp 50.000 per malam. Jika kalian nanti main ke Kota Malang ini bisa jadi alernatif tempat menginap kalian cari aja di daerah kampus ITN Malang, karena memang di sekitaran situ banyak sekali kost-kostan yang disewakan secara harian. Alhamdulillah akhirnya malem ini ga jadi ngegembel tidur di terminal.

Setelah sejenak beristirahat, kini saatnya memanjakan perut. Kuliner malem dulu kali ah. Langsung saja tanpa basa basi kita meminta diantar Nindi ke tempat-tempat kuliner khas Malang.  Oia Nindi juga mengenalkan kita pada seorang temannya asal Jakarta yang sekarang kuliah juga di Universitas Brawijaya Malang namanya Putri, malam ini dia ikut dengan kami untuk mencari kuliner khas kota Apel ini. 

Setelah muter-muter Kota Malang mencari tempat makan yang hampir semua tempatnya menggunakan kata “Setan” untuk makanannya seperti rawon setan, ceker setan, mie setan, kabeh weh setan, setan! kedua wanita ini akhirnya membawa kami ke sebuah Rumah Makan yang agak sedikit beradab (tetep aja pedes), pilihan jatuh kepada Rumah Makan Nasi Rawon Tessy di daerah dekat stasiun Kota Baru Malang. Nasi Rawon disini juara, dengan harga Rp 16.000 aja kalian udah dapet nasi+rawon+es teh manis+kerupuk ikan. Sok bayangin geura gimana rasanya perut lagi keroncongan terus diteunggar ku nasi rawon? Juara!.

Tapi guys ga cukup rasanya kalau cuman nyoba 1 makanan aja, tambah lagi dong ah. Pilihan kami jatuh ke Bakso Bakar Pahlawan Trip. Yup bakso bakar ini cukup terkenal di kalangan anak muda Malang. Buat kalian yang ingin nyoba kalian bisa dateng ke jalan Pahlawan Trip, harga Bakso bakar ini cukup terjangkau dengan harga Rp 10.000 kalian bisa menikmati 5 biji bakso bakar yang rasanya pedes manis ngajeletit. Hehe. Tak terasa malam semakin larut, kami pun harus mengistirahatkan tubuh malam ini karena tentu saja perjalanan sesungguhnya baru dimulai besok pagi. Yes, besok pagi berangkat ke Sempu. Pake koyo dulu kali yah malem ini biar besok pundak siap lagi bawa tas carrier yang beratnya udah melebihi dosa. lol. 


Senin 11 Maret 2013 pukul 05.00 dengan mata yang masih redup dan tingkat kesadaran yang masih berada di tingkat setengah mimpi, kami memaksakan diri untuk bangun. Setelah sholat subuh dan packing carrier agar bisa dibawa dengan nyaman, jam 06.00 kami mulai melangkahkan kaki menuju pulau sempu, bismillah.. Rute yang akan kami lewati hari ini untuk menuju Pulau sempu adalah sebagai berikut : Penginapan à Terminal Gadang à Pasar Turen à Sendang Biru à Pulau Sempu (Segara Anakan)

Langkah pertama kami menuju terminal Gadang dengan menggunakan angkot yang dibadan angkot tersebut tertulis huruf  “AG” dengan harga Rp 3.000 per orang. Ada yang menarik tentang pengalaman naik angkot di Kota Malang ini. Salah satu yang saya suka adalah, disini angkot-angkot itu ga pernah ngetem kalau udah jalan.  Keren! Karena saya berpendapat bahwa salah satu sumber kemacetan adalah adanya angkot yang suka ngetem sembarangan di tepi badan jalan. Alhasil kami sampai Terminal Gadang lumayan cukup cepat hanya memerlukan waktu 15 menit. Sampai di Terminal Gadang kami menyempatkan diri dulu untuk sarapan, kami memilih nasi soto ayam. Haha pagi pagi geus sanguan. Dengan harga Rp 7.000 aja kalian udah dapet nasi+soto ayam+teh manis panas+kerupuk ikan. Sedaap.

Dari terminal Gadang untuk mencapai Pasar Turen dapat menggunakan Bis Mini Wijaya jurusan Pasar Turen. Karena kondisi jalan yang lancar jaya dan budaya angkutan umum disana yang jarang ngetem, akhirnya kami tiba di Pasar Turen dengan hanya memakan waktu 30 menit. Di Pasar Turen ini sebenarnya banyak sekali angkot jurusan Sendang Biru, tetapi yang menjadi masalah adalah angkot disini hanya mau berangkat kalau muatannya sudah penuh, minimal 15 orang baru bisa jalan. 

Sambil menunggu angkotnya jalan, di Pasar Turen kami terlebh dahulu membeli logistik yang nanti dibutuhkan selama camp di Pulau Sempu seperti beras, air minum, mie instan, roti, dll. Belanja selesai tapi mobil belum juga penuh. Aah shit! Padahal udah hampir 2 jam lebih kita nunggu. Akhirnya setelah nego sedikit sama supirnya kami sepakat untuk membayar lebih sebesar Rp 100.000 untuk 3 orang asal mobil bisa berangkat cepat, padahal tarif asli dari angkot menuju Sendang Biru ini hanya sebesar Rp. 15.000 per orang. Kami sepakat membayar lebih karena kami khawatir jika terlalu siang berangkatnya nanti kami bisa terlalu sore sampai di Sendang Biru. Hal itu bisa berbahaya untuk kami saat berjalan dari mulut hutan Pulau Sempu ke Segara Anakan (dibaca: Segoro Anakan).  Akhirnya berangkat juga deh ini mobil. Tancaap brur!!

Angkot dari Pasar Turen - Sendang Biru
 Photo by Lukman "Omen"
Dalam perjalanan menuju Sendang Biru tentu saja kami disajikan pemandangan yang luar biasa. Tapi perjalanan ini juga merupakan ujian berat bagi kami. Pasalnya selama perjalanan menuju Sendang Biru ternyata banyak sekali orang yang naik satu persatu kedalam angkutan ini. Dari mulai anak sekolah, ibu-ibu yang pulang dari pasar, ataupun bapak-bapak yang tampaknya akan berdagang di pasar berikutnya. Dan kamu harus tau, mobil yang kami tumpangi ini adalah mobil dengan jenis Suzuki carry, tetapi yang membuatnya luar biasa adalah mobil ini diisi oleh hampir 20 orang banyaknya. Anjiis maksa pisan ieu supirna sumpah! Alhasil mobil sedikit oleng, tapi si supir emang supir edan kali yaah, dia bawa mobilnya kaya lagi balapan aja, padahal jalanan yang dilewatin nya tuh  ga selurus jembatan sirotol mustaqim, banyak berdoa ajalah. Bismillah..

Setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam dari pasar turen sampailah kami di Sendang Biru. Suara debur ombak sudah terdengar, dan pemandangan yang terlihat sejauh apapun kita memandang adalah warna biru. Rasa-rasanya membuat kami tidak sabar untuk segera sampai Pulau Sempu (Segara Anakan). Tapi tunggu dulu, sebelum kita melanjutkan perjalanan menuju Segara Anakan disini nih bagian penentunya. Di Sendang Biru ini kita harus mengurus ijin menginap terlebih dahulu di Pulau Sempu kepada bapak-bapak petugas Perhutani yang bertugas disana. Setelah itu kita harus mencari perahu untuk menyebrang dari pantai Sendang Biru ke bibir hutan Pulau Sempu, dan juga Guide yang akan mengantar kita melewati lebatnya hutan pulau Sempu untuk sampai ke Segara Anakan.

Untuk kalian yang dateng ke Pulau Sempu pada musim hujan seperti kami, hati-hati jalanan menuju Segara Anakan sangat berlumpur. Tapi jangan khawatir disini kalian bisa menyewa sepatu anti lumpur, lumayan lah jadi ga terlalu licin. Berikut rincian besaran uang yang kami bayar pada waktu itu. (1.) ijin menginap untuk 3 orang selama 1 malam Rp. 50.000 ; (2.) Perahu Rp.100.000 ; (3) Guide Rp. 100.000 ; (4) Sewa sepatu Rp. 10.000/orang. Setelah mempersiapkan segala-galanya akhirnya kami naik perahu dan jangkar perahu pun sudah diangkat, itu tandanya kita siap untuk berangkat menjelajahi Pulau Sempu. Saat sedang asik foto-foto dan mengambil video dokumentasi di perahu. Tiba-tiba sang kapten kapal berteriak, “ayo siap-siap udah mau nyampe nih!”. What? Apa? Cuman 15menit lah.  Ternyata deket loh dari sendang biru ke bibir hutan Pulau Sempu, kirain jauh, aiih matee bayar 100.000 cuman sebentar naik perahunya. Shit! Tapi gakpapa lah daripada kita nyebrang nya renang, kan cape juga. Ikhlas.

Sendang Biru
 Photo by Lukman "Omen"

Sendang Biru

Sendang Biru
 Photo by Lukman "Omen"
Setelah turun dari perahu dan memakai sepatu anti lumpur yang tadi disewa, saatnya menjajal stamina untuk berjalan kaki menuju Segara Anakan. Banyak sekali info yang kami dapatkan mengenai perjalanan menuju Segara Anakan ini dari mulai jalanan yang berlumpur sampai setinggi lutut orang dewasa yang membuat perjalanan bisa memakan waktu sampai 5 jam. Ataupun cerita orang yang tersesat selama 2 bulan dan ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Inalillahi. Tapi hal tersebut tak menyurutkan tekad kami yang pada saat itu sedang on fire banget untuk mencapai Segara Anakan. Karena memang kami bertiga saya, ikbal, omen sepakat bahwa tempat ini merupakan salah satu tempat yang wajib untuk kami kunjungi. Kenapa?.

Oke saya mau cerita dikit nih tentang Pulau Sempu ini Pulau Sempu adalah sebuah cagar alam yang memiliki luas sekitar 877 hektar di bawah naungan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Nah di dalam Pulau Sempu ini tuh, terdapat laguna yang bernama Segara Anakan (dibaca: Segoro Anakan) kenapa disebut laguna? Tentu saja seperti arti dari laguna itu sendiri, dimana laguna adalah sekumpulan air asin yang terpisah dari laut oleh penghalang yang berupa pasir, batu karang atau semacamnya. Ya kurang lebih seperti itu lah Segara anakan yang dibatasi oleh dinding karang yang menjulang tinggi namun terdapat lubang di bagian bawah karang tersebut yang menjadi tempat keluar masuknya air dari laut ke dalam segara anakan ini.

Sudah 1 jam lamanya kita bergelut dengan medan jelan menuju Segara Anakan ini, hal tersebut membuat kondisi fisik agak melemah, ditambah lagi beban carrier di punggung yang semakin terasa menyebalkan, dan lumpur yang setia menemani sedari tadi. Kami pun sejenak beristirahat.

Oh iya kenalkan Guide kami namanya Mas Agus, Mas Agus banyak sekali bercerita mengenai pengalaman-pengalaman yang dia alami di Pulau ini. Agak mistis sih tapi kan itu semua kuasa tuhan kita hanya menerima dan berdoa saja. Bahkan sampai saat blog ini dibuat pun saya masih merinding jika saya mengingat kembali apa yang diceritakan mas Agus. “Lanjut lagi yu ah!” teriak Mas Agus yang seketika menyadarkan kami bahwa kami masih dalam perjalanan.  Kali ini kami menambah kecepatan karena lumpur sudah agak sedikit berkurang, membuat langakah kaki kami menjadi sangat cepat dan semakin cepat. Akhirnya sedikit demi sedikit mulai terlihat dari kejauhan sebuah pemandangan yang sangat indah. Penglihatan kami seketika dikejutkan oleh suatu pemandangan yang didominasi oleh berwarna putih, hijau, dan biru. Tentu saja kami sangat kenal warna itu. Yap! Welcome to Segara Anakan!!!!!!


Segara Anakan
 Photo by Lukman "Omen"
Segara Anakan
 Photo by Lukman "Omen"
Segara Anakan
 Photo by Lukman "Omen"
Di balik karang dari Segara Anakan
 Photo by Lukman "Omen"




Sangat indah nian laguna ini, mulai dari telinga kita yang benar-benar dinyanyikan oleh suara debur ombak yang menabrak karang-karang yang sangat kokoh disana, lalu mata kita yang seakan dibuai oleh warna-warna alami buatan tuhan putih, biru, hijau, dan biru, dan hijau, dan putih, dan biru lagi benar-benar komposisi warna yang menakjubkan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kemudian hidung pun ikut dimanjakan dengan udara yang melegakan, jauh dari polusi yang seperti setiap hari kita hirup. Pada intinya kesemuanya ini benar-benar sangat memanjakan panca indera kita yang mungkin sudah lelah dengan kesemua hal berbau modernitas yang kini bergerak semaunya.

Eits satu tips buat kalian yang bawa tenda. Kalau bisa nih, sesaat setelah kalian sampai di segara anakan segeralah pasang tenda kalian. Karena sedia payung sebelum hujan adalah peribahasa yang paling tepat jika kita ingin bermain dengan alam. Seperti hal yang kami bertiga alami yang tidak langsung memasang tenda sesaat setelah tiba di Segara Anakan, alhasil kami hujan-hujanan ala india dulu sebelum akhirnya tenda dapat berdiri kokoh. Telat masang tenda bro!

Setelah tenda berdiri dan mengamankan logistik saatnya menjelajahi Segara Anakan ini. Renang dulu kali yah sambil bersihin lumpur-lumpur yang nempel-nempel di badan.. aaahhh segarnyaaa.. Beres renang, lanjut bikin kopi kali yah, buat persiapan nanti diminum sambil menikmati sunset. Untuk kalian yang ingin menikmati sunset di Pulau Sempu memang agak sedikit berbeda dari biasanya karena disini kalian harus naik dulu ke puncak bukit karang tertinggi yang ada di Segara Anakan ini.  Kalau kami sarankan sih buat kalian yang takut ketinggian mending diem di bawah aja yah, soalnya jalan menuju puncak bukit karang ini memang agak sedikit terjal.  Pemandangan dari puncak bukit karang di Segara Anakan ini memang luar biasa, dari titik ini kita bisa melihat lautan lepas yang berderu deru sangat kencang di sebelah barat yang membuat hati seakan berdebar dibuatnya, ataupun di sisi sebaliknya pemandangan Segara Anakan yang  begitu tenang dan sangat mendamaikan hati setiap orang yang mengunjunginya. Benar-benar pemandangan yang sangat begitu kontras, padahal hanya dipisahkan oleh bukit karang yang kini sedang saya duduki. Kedua hal tersebut seakan selalu melengkapi satu sama lain. 

Sunset 1
 Photo by Lukman "Omen"

Sunset 2
 Photo by Lukman "Omen"

Menikmati Sunset
Puas menikmati pemandangan sore hari dari puncak bukit karang tertinggi yang ada disitu kami pun turun untuk mempersiapkan makan malam. Ada kejadian yang ga akan saya lupakan saat kami sibuk mempersiapkan makan malam. Ceritanya begini, salah seorang teman kami yaitu si Iqbal yang memang dari awal perjalanan sudah kehilangan sandal, sekarang tiba-tiba dia berteriak “kamera aing mana?!” (dibaca: kamera saya mana?) Iqbal pun mulai mencari ke setiap sudut tenda. Kondisi cahaya yang semakin gelap menuju malam semakin membuat bocah yang satu ini panik dan kesusahan mencari kameranya. Bukannya saya dan Omen tidak mau membantu tapi kondisi badan kami juga sudah sangat lelah dan lapar, jadi saya dan Omen memutuskan untuk meneruskan memasak makan malam kami. Setelah 30 menit kemudian, suara dari dalam tenda yang daritadi sangat berisik dengan ocehan Si Iqbal yang mengutuk kameranya itu pun kini tiba-tiba hening dan berubah menjadi kesunyian. Saya dan Omen pun khawatir dengan apa yang terjadi, dalam pikiran saya, saya berpikir apakah setelah sandal yang hilang, lalu kamera yang hilang, apakah kini selanjutnya giliran ikbal yang hilang. Langsung saja saya dan omen bergerak ke dalam tenda untuk memeriksa. Kalian tau apa yang kami temukan? Yap, di dalam tenda ternyata si Iqbal yang daritadi mengalami serangan kepanikan tingkat akut itu kini sedang terbaring lemas dengan agak sedikit berkeringat, namun di wajahnya terlihat senyum penuh kepuasan karena telah menemukan kameranya yang kini dia genggam erat-erat di tangannya. “aduh aing lieur kieu euy, beres neangan kamera teh, untung kapanggih lah..” (arti: aduh kepala saya pusing gini abis nyari kamera, untung ketemu) ujar ikbal yang masih terbaring lemas sambil matanya melihat lurus ke bagian atas tenda.

Setelah makanan matang kami bertiga pun langsung dengan keji melahap makanan di depan kami, malam ini kami makan mie rebus kornet + nasi. Sederhana sih makanannya, tapi kalau dimakan di bawah jutaan bintang yang begitu setia menemani kami daritadi, beeuuuuuh surga dunia brooo. Memang malam ini langit begitu cerah, membuat bintang-bintang yang sedari tadi malu-malu untuk menunjukan dirinya kini terpampang lebar dihadapan kami, tanpa pikir panjang kami pun tiduran di luar tenda dan langsung ambil posisi menghadap ke langit. Melihat begitu banyaknya bintang yang terpampang dihadapan kami, rasanya ada perasaan yang membuat kita sangat kecil dihadapannya. Begitu indah saat itu sampai-sampai kami bertiga pun hanya bisa diam terkagum-kagum dibuatnya. Bahkan tanpa sengaja saya melihat ada bintang jatuh Adeeuuuh... Romantis… 

Bintang di Segara Anakan 1
 Photo by Lukman "Omen"


Bintang di Segara Anakan 2
 Photo by Iqbal

Sekitar pukul 10.00 kami pun masuk tenda karena angin diluar juga tidak memungkinkan bagi kami untuk terus menikmati bintang. Kami pun langsung tertidur saat tubuh yang daritadi terpapar angin malam ini masuk ke dalam sleeping bag masing-masing. 

Pukul 02.00 pagi tiba-tiba tubuh terasa dingin sekali dan terdengar kedua teman saya yang panik seperti sedang terjadi sesuatu yang menghebohkan, mereka berteriak bocor.. bocor.. bocor… seperti iklan salah satu merk cat di TV.  Langsung saja saya sigap bangun, and you know what? tenda kami rembes kemasukan air. Ooh shit!! Ternyata diluar sedang turun hujan yang lumayan cukup deras dan angin pun cukup kencang. Saya dapat melihat bagaimana bagian atas tenda kami bergoyang-goyang tidak karuan. “ah kumaha ieu euy?” tanya Ikbal. “anteep wee..” ujar Omen yang setengah ngantuk. Sial memang karena area tidur saya dan Ikbal memang agak sedikit rembes air  dari bagian bawah tenda. Sedangkan si Omen kering kerontang, wajar jika dia tidak peduli. “kumaha atuh bal ieu?” tanya saya kepada Ikbal yang mengalami nasib yang sama. “ah sare deui we lah, bae baseuh ge” jawab Ikbal dengan singkat, padat, dan jelas dan dia langsung meneruskan tidurnya. Saya pun putar otak, akhirnya saya memutuskan untuk mengganti posisi tidur ke arah sebaliknya karena area bagian kepala saya sebelumnya, kini sudah agak terendam air. Saya pikir jika yang terendam bagian kaki ga masalah lah. Akhirnya saya pun tertidur cukup nyenyak sekali malam itu di Pulau Sempu. Nite.

Selasa 12 Maret 2013 pukul 06.00 pagi. Suara orang yang tertawa dan berlarian membangunkan saya di pagi hari. Dengan kondisi tubuh masih ringkih saya ngintip keluar tenda. Dan ternyata orang-orang di area camp ini sedang sibuk mengamankan barangnya dari serbuan kawanan monyet yang menyerang. Hahaha. Memang seperti itulah kondisi di Segara Anakan yang notabene masih alami. Masih banyak hewan-hewan liar yang berkeliaran disini, apalagi kawanan monyet yang tidak segan-segan memasuki area camp untuk sekedar mencari makanan-makanan sisa. Setelah kondisi agak aman, kami pun langsung tancap memanfaatkan suasana pagi di Segara Anakan ini, dan menikmati momentum masuknya air laut kedalam lubang karang segara anakan ini. Wiiih cantiknya. Tapi masih cantikan pacar saya sih. J

Pukul 09.00 kami sudah siap untuk pulang, tapi bukan kami namanya kalau kami ga bikin ulah sama petugas Perhutani yang sedang patroli di Segara Anakan ini. Kejadian ini berawal dari sehari sebelumnya yang diakibatkan dari kami yang entah cinta kebersihan atau karena begitu takutnya kami akan mitos yang beredar. Jadi gini, sudah pasti setiap manusia diciptakan untuk mengeluarkan urine setiap harinya, begitu juga kami. Karena kepercayaan orang disini yang bilang jangan kencimg sembarangan, akhirnya kami bertiga pipis di botol (botol nya masing-masing ya, catet). Botol "nista" itu pun kami simpan kedalam trash bag tempat kami membuang sampah. Nah kebetulan lagi ada petugas perhutani yang sedang patroli ke area camp dan membakar sampah-sampah bekas para pengunjung. Saat beliau mengeluarkan sampah dari trash bag kami, spontan dia teriak. “ PUNYA SIAPA INI!!!” saya pun langsung pura-pura nyuci sandal di bibir pantai, dan baru saya sadari ikbal mengikuti langkah mantap saya menuju bibir pantai. Tertinggal Omen sendiri yang dari mukanya terlihat tegang kaya mahasiswa lagi sidang skripsi. Sori men kondisi gini mah maneh sendiri dulu yah, kan maneh udah dewasa, harus mandiri. Hahahaha.

Setelah beres pura-pura nyuci sendalnya saya pun siap untuk pulang. 1 lagi nih tips buat kalian yang punya rencana mau ke Sempu, kalian juga harus mikir jalan pulangnya yah, karena jalan pulang dari Segara Anakan ke Sendang Biru ini kalian akan berjalan sendiri tanpa guide. Nah daripada nyasar, mending kalian perbanyak temen deh pas kalian lagi camp di Segara Anakan, usahakan cari temen yang udah sering bolak-balik ke Segara Anakan ini biar bisa nebeng pulang. Seperti kami bertiga yang berkenalan dengan Mas Said dan Mas Sopian. Mereka adalah 2 orang laki-laki asal Jember, yang sering berpergian menikmati alam, mereka sudah 2 kali kesini, sehingga mereka sudah tahu betul medan disini.

Kami pun langsung bisa dengan cepat akrab satu sama lain. Mereka adalah contoh orang yang sangat baik yang ada di dunia ini dan saya harap semua orang di dunia ini sama sifatnya seperti mereka berdua. Bagaimana tidak, kebaikan mereka yang pertama adalah berkat mereka berdualah kami bisa naik ke puncak bukit karang untuk menikmati sunset, yang kedua mereka memberikan seporsi besar olahan ikan sarden untuk sarapan kami, lalu yang ketiga mereka berdua juga yang membantu kami menunjukan jalan pulang melewati hutan lumpur Pulau Sempu. Aah bener-bener deh Mas sopian dan Mas Said itu the best I ever had. Lebay, hehe. Terima Kasih Mas Sopian dan Mas Said atas bantuannya. Semoga next trip kita bisa jalan-jalan bareng lagi.

Sesampainya di sendang biru kami langsung beres-beres mandi dan mengucapkan salam perpisahan dengan Mas Sopian, Mas Said, dan Pulau Sempu. Dengan ini kami nyatakan Pulau Sempu dan Segara Anakan nya sudah kami ceklis dari list tempat yang harus dikunjungi di Jawa Timur ini. Kami pun segera pulang dengan menggunakan angkot yang sudah tersedia menuju Pasar Turen dengan tarif yang sama yaitu Rp. 15.000 . Dari Pasar Turen lanjut ke Kota Malang menggunakan bis Wijaya lagi ke terminal Gadang. Dari Terminal Gadang kami lanjut menuju stasiun Kota Baru Malang untuk bertemu Nindi yang sejak kedatangan kami di Kota Malang ingin sekali mengajak kami mengunjungi Gunung Bromo. Dari pantai naik ke gunung brooo!! Sikaat!!